Makalah lingkungan ternak (cekaman panas kegagalan regulasi panas pada susu)



KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Kegagalan Regulasi Panas pada Komposisi Susu” dengan baik walaupun dalam bentuk yang sederhana.  
Pada kesempatan ini kami  mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu Rasyidah Mappanganro,S.Pt,M.sI yang mengajarkan mata kuliah Ilmu Lingkungan Ternak  yang telah memberikan tugas ini kepada kami sehingga lebih mempermudah kami dalam memahami materi ini.
Tentunya dalam makalah ini banyak sekali kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak, sebagai masukan bagi kami  dan untuk dijadikan tambahan pengetahuan dan pengalaman untuk pembuatan makalah berikutnya. Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Terima kasih.



Samata, 18 April 2018


Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Susu merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai gizi tinggi bagi kehidupan manusia. Susu dihasilkan oleh mamalia melalui kelenjar mamae. Keberadaan susu sangat diperlukan bagi bayi mamalia yang baru lahir dan merupakan makanan pertama yang diterima oleh bayi setelah dilahirkan. Susu yang berada di pasaran umumnya diambil dari hewan piaraan yang telah didomestikasi seperti sapi, kerbau, unta, kambing, dan domba Setiap susu memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung sumber hewannya. Susu tergolong bahan pangan yang mudah rusak. Hal ini disebabkan oleh kandungan gizi dan aktivitas air yang tinggi menjadi tempat yang sangat baik bagi mikroba untuk berkembang biak. Mikroba membutuhkan nutrien sebagai sumber karbon, nitrogen, energi, mineral, dan vitamin. Sedangkan air dibutuhkan sebagai reaktan dalam berbagai reaksi biokimia. Mikroba akan merusak susu sehingga menjadi tidak layak untuk dikonsumsi.
Sapi adalah salah satu ternak ruminansia yang populasinya tersebar luas diseluruh dunia, terutama pada daerah yang produksi pertaniannya memungkinkan. Penyebaran ternak ini lebih merata dibanding domba dan kambing. Namun demikian, ternak sapi jarang ditemukan pada lingkungan yang ekstrim tidak bersahabat.
Di negara-negara berkembang, sapi memberikan kontribusi terbesar untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sapi perah khususnya, dengan produksi susunya yang tinggi, mampu mensuplai kebutuhan susu manusia. Di banyak daerah didunia, susu dihasilkan dari usaha peternakan kecil. Sampai dengan tahun 1994, negara yang memelihara induk sapi perah terbanyak dalam suatu peternakan adalah United Kingdom (rata-rata 64,3 ekor) dan Belanda (rata-rata 43,8 ekor) (Owen, 1995). Cole and Brander (1985), mengestimasi rata-rata produksi susu induk sapi perah di dunia adalah 1955 kg per tahun, bahkan di United Kingdom, produksi susu per induk tidak kurang dari 5000 liter.
Secara fisiologis, sapi perah memiliki sifat yang sama saja dengan sapi potong. Sifat yang dimaksud adalah lama kebuntingan, siklus birahi, prinsip-prinsip reproduksi, fungsi serta bagian saluran cerna serta kebutuhan dan pemanfaatan nutrien. Pola pemeliharaannya juga sangat bervariasi, mulai dari peternakan   sangat kecil ditingkat petani peternak yang memelihara beberapa induk, sampai peternakan besar dengan beberapa ratus induk.
Adanya variasi dalam usaha peternakan sapi perah dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya sistem pemberian makanan, sistem perkandangan dan lingkungan. Lingkungan adalah sesuatu yang sangat luas, mengacu pada semua faktor selain genetik, yang mempengaruhi produktivitas dan kesehatan seekor ternak.
Pengaruh lingkungan terhadap ternak dapat secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh lingkungan secara langsung adalah terhadap tingkat produksi melalui metabolisme basal, konsumsi makanan, gerak laju makanan, kebutuhan pemeliharaan, reproduksi pertumbuhan dan produksi susu. Sedangkan pengaruh tidak langsung berhubungan dengan kualitas dan ketersediaan makanan (Anderson, et al. 1985).
Faktor lingkungan adalah faktor yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap tingkat produksi. Di antara sekian banyak komponen faktor lingkungan , yang paling nyata pengaruhnya terhadap sapi perah, terutama pada masa laktasi (produksi susu) adalah temperatur, yang selalu berkaitan erat dengan kelembaban.Supaya dapat berproduksi baik, sapi perah harus dipelihara pada kondisi lingkungan yang nyaman (comfort zone), dengan batas maximum dan minimum temperatur dan kelembaban lingkungan berada pada thermo neutral zone. Di luar kondisi ini sapi perah akan mengalami stres. Stres yang banyak terjadi adalah stres panas. Hal ini disebabkan THI berada di atas THI normal.  Menurut Davidson, et al. (2000), induk sapi perah yang berada pada Temperature Humidity Index (THI) kritis, akan mengalami penurunan produksi dan komposisi susu. Itu berarti, induk sapi perah laktasi yang mengalami cekaman panas (stres panas), akan mengalami gangguan fisiologis dan produktivitas.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hubungan Temperatur Lingkungan dan Stres Panas

1.      Temperatur Lingkungan

Lingkungan dapat diklasifikasikan dalam dua komponen, yaitu :
(1)   Abiotik  : semua faktor fisik dan kimia
(2)   Biotik : semua interaksi di antara (perwujudan) makanan, air, predasi, penyakit serta interaksi sosial dan seksual.
Faktor lingkungan abiotik adalah faktor yang paling berperan dalam menyebabkan stres fisiologis.MKomponen lingkungan abiotik utama yang pengaruhnya nyata terhadap ternak adalah temperatur, kelembaban, curah hujan angin dan radiasi matahari.
Ø  Temperatur
Temperatur lingkungan adalah ukuran dari intensitas panas dalam unit standar dan biasanya diekspresikan dalam skala derajat Celsius. Secara umum, temperatur udara adalah faktor bioklimat tunggal yang penting dalam lingkungan fisik ternak. Supaya ternak dapat hidup nyaman dan proses fisiologi dapat berfungsi normal, dibutuhkan temperatur lingkungan yang sesuai. Banyak species ternak membutuhkan temperatur nyaman 13 – 18 oC (Chantalakhana dan Skunmun, 2002) atau Temperature Humidity Index (THI) < 72.
Ø  Kelembaban
Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan. Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif (Relative Humidity = RH) dalam persentase yaitu ratio dari mol persen fraksi uap air dalam volume udara terhadap mol persen fraksi kejenuhan udara pada temperatur dan tekanan yang sama (Yousef, 1984). Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian mempengaruhi keseimbangan termal ternak.
Ø  Curah Hujan
Selama musim hujan, rata-rata temperatur udara lebih rendah, sedangkan kelembaban tinggi dibanding pada musim panas. Jumlah dan pola curah hujan adalah faktor penting untuk produksi tanaman dan dapat dimanfaatkan untuk suplai makanan bagi ternak. Curah hujan bersama temperatur dan kelembaban berhubungan dengan masalah penyakit ternak serta parasit internal dan eksternal. Curah hujan dan angin juga dapat menjadi petunjuk orientasi perkandangan ternak
Ø  Angin
Menurut Yousef (1984), angin diturunkan oleh  pola tekanan yang luas dalam atmosfir yang berhubungan dengan sumber panas  atau daerah panas dan dingin  pada atmosfir. Kecepatan angin  selalu diukur pada ketinggian tempat ternak berada. Hal ini penting karena transfer panas melalui konveksi dan evaporasi di antara ternak dan lingkungannya dipengaruhi oleh kecepatan angin.
Ø  Radiasi Matahari
Menurut Yousef (1984), Radiasi matahari dalam suatu lingkungan berasal dari dua sumber utama :
(1)   Temperatur matahari yang tinggi
(2)   Radiasi termal dari tanah, pohon, awan dan atmosfir
Petunjuk variasi dan kecepatan radiasi matahari, penting untuk mendesain perkandangan ternak, karena dapat mempengaruhi proses fisiologi ternak.
Lingkungan termal adalah ruang empat dimensi yang sesuai ditempati ternak.. Mamalia dapat bertahan hidup dan berkembang pada suatu lingkungan termal yang tidak disukai, tergantung pada kemampuan ternak itu sendiri dalam menggunakan mekanisme fisiologis dan tingkah laku secara efisien untuk mempertahankan keseimbangan panas di antara tubuhnya dan lingkungan (Yousef, 1984).

2.    Produksi Panas dan Kehilangan Panas

Mamalia termasuk di dalamnya sapi perah, temperatur tubuhnya dikontrol pada level konstan. Hal itu dilakukan dengan termoregulasi. Kondisi khusus ini disebut homoitermis, untuk memelihara proses fisiologis tubuh agar tetap optimum (Sturkie, 1981). Homoitermis dapat terjaga dikarenakan keseimbangan sensitif di antara produksi panas (Heat Production = HP) dan kehilangan panas (Heat Loss = HL). Keseimbangan HP dan HL Menurut Sturkie (1981) dan Yousef (1984). Produksi panas tubuh ternak diukur dengan kalorimetri langsung dan tidak langsung. Sedangkan kehilangan panas diketahui melalui kehilangan non evaporasi dan evaporasi (Yousef, 1984).

3.    Regulasi Temperatur

Regulasi temperatur tubuh adalah suatu integrasi fungsi yang meliputi sifat dasar fungsi regulasi secara umum, yaitu deteksi oleh suatu sensor dari gangguan pada sistem; transmisi informasi dari sensor ke suatu pusat interpretasi; interpretasi signal dari sensor dan inisiasi instruksi signal yang sesuai, kemudian ditransmisi ke respon; eksekusi respon dan umpan balik keefektifan efektor respon ke dalam sensor, dengan mengurangi atau mengaktifkan gangguan sistem. Pada mamalia, ada dua jenis temperatur sensor yaitu sensor panas atau sensor yang berasal dari periferal termosensor dan sensor dingin yaitu sensor dari pusat termosensor (Yousef, 1984).
Sistem kontrol termoregulasi terdiri dari suatu seri elemen yang fungsinya interrelasi. Informasi termal diperoleh melalui periferal atau sensor temperatur tubuh dalam. Keluaran dari sensor ini dibawa oleh saraf aferen ke pusat kontrol termoregulasi dalam hipotalamus. Aktivasi efektor akan bervariasi tergantung kecepatan produksi panas atau kehilangan panas. Umpan balik ke sistem kontrol oleh sistem saraf atau aliran darah,  terjadi dengan adanya modifikasi masukan reseptor (Sturkie, 1981).

4.    Zona Temperatur Netral 

Zona temperatur netral atau zona termonetral  (ZTN) adalah zona yang relatif terbatas dari temperatur lingkungan yang efektif dalam memproduksi panas minimal dari ternak (Curtis, 1999). ZTN disebut juga profil termonetral atau zona nyaman atau zona termopreferendum (Yousef, 1984). Pada zona ini, tidak ada perubahan dalam produksi panas dan temperatur tubuh dapat dikontrol oleh adanya perubahan kecil dalam konduksi ternak melalui variasi tubuh, aliran darah dari pusat ke periferi atau peningkatan keringat (Sturkie, 1981).

5.    Temperatur Lingkungan dan Stres

Ternak akan selalu beradaptasi dengan lingkungan tempat hidupnya. Adaptasi lingkungan ini tergantung pada ciri fungsional, struktural atau behavioral yang mendukung daya tahan hidup ternak maupun proses reproduksinya pada suatu lingkungan. Apabila terjadi perubahan maka ternak akan mengalami stres (Curtis, 1999).
Stres adalah respon fisiologi, biokimia dan tingkah laku ternak terhadap variasi faktor fisik, kimia dan biologis lingkungan (Yousef, 1984). Dengan kata lain, stres terjadi apabila terjadi perubahan lingkungan yang ekstrim, seperti peningkatan temperatur lingkungan atau ketika toleransi ternak terhadap lingkungan menjadi rendah (Curtis, 1999).
Stres panas terjadi apabila temperatur lingkungan berubah menjadi lebih tinggi di atas ZTN (upper critical temperature). Pada kondisi ini, toleransi ternak terhadap lingkungan menjadi rendah atau menurun, sehingga ternak mengalami cekaman (Yousef, 1985). Stres panas ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan, reproduksi dan laktasi sapi perah termasuk di dalamnya pengaruh terhadap hormonal, produksi susu dan komposisi susu (Mc Dowell, 1972).
B.  Efek Fisiologis Stres Panas

1.      Efek Terhadap Hormonal

Temperatur berhubungan dengan fungsi kelenjar endokrin. Stres panas memberikan pengaruh yang besar terhadap sistem endokrin ternak disebabkan perubahan dalam metabolisme (Anderson, et al. 1985).
Ternak yang mengalami stres panas akibat meningkatnya temperatur lingkungan, fungsi kelenjar tiroidnya akan terganggu. Hal ini akan mempengaruhi selera makan dan penampilan (MC Dowell, 1972). Stres panas kronik juga menyebabkan penurunan konsentrasi growth hormone dan glukokortikoid. Pengurangan konsentrasi hormon ini, berhubungan dengan pengurangan laju metabolik selama stres panas. Selain itu, selama stres panas konsentrasi prolaktin meningkat dan diduga meningkatkan metabolisme air dan elektrolit. Hal ini akan mempengaruhi hormon aldosteron yang berhubungan dengan metabolisme elektrolit tersebut. Pada ternak yang menderita stres panas, kalium yang disekresikan melalui keringat tinggi menyebabkan pengurangan konsentrasi aldosteron (Anderson, et al. 1985).

2.      Efek Terhadap Produksi Susu

Produksi susu akan menurun selama ternak mengalami stres panas. Pengaruh langsung stres panas terhadap produksi susu disebabkan meningkatnya kebutuhan maintenance untuk menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolik dan menurunkan konsumsi makanan. Penurunan produksi susu pada sapi perah yang menderita stres panas terjadi karena adanya pengurangan pertumbuhan kelenjar mamae, yang pada awalnya mengurangi pertumbuhan fetus dan plasenta (Anderson, et al. 1985).
Di Indonesia, temperatur lingkungan yang mencapai 29 oC menurunkan produksi susu menjadi 10,1 kg/ekor/hari dari produksi susu 11,2 kg/ekor/hari jika temperatur lingkungan hanya berkisar 18 – 20 oC (Talib, et al. 2002).

3.      Efek Terhadap Komposisi Susu

Komposisi susu sangat dipengaruhi oleh stres panas. Sapi perah yang mengalami stres panas akan mendapatkan pengaruh negatif terhadap komposisi susu, seperti kadar lemak, protein dan laktosa susu (Anderson, et al. 1985). Hasil penelitian Talib, et al. (2002), mendapatkan penurunan kadar lemak susu sapi perah di Indonesia menjadi 3,2 % pada temperatur lingkungan mencapai 29 oC, jika dibandingkan dengan kadar lemak susu 3,7 % pada temperatur lingkungan 18 – 20 oC. Demikian halnya hasil penelitian di Taiwan yang dilakukan oleh Mei and Hwang (2002), mendapatkan % lemak susu (3,58 ± 0,49), % protein susu (3,13 ± 0,11) dan % bahan padat bukan lemak (8,87 ± 0,41) dari susu pada sapi yang menderita stres panas dan hasil ini lebih rendah dibanding sapi yang tidak mengalami stres panas, namun kemudian diatasi dengan pemberian ransum dengan keseimbangan energi dan protein.
C.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komposisi dan Jumlah Susu
Beberapa bagian susu hampir selalu dijumpai dalam jumlah yang sama sedangkan komponen lainnya diketahui sangat bervariasi. Faktor utama yang menggantikan komposisi susu adalah jumlah total susu yang dihasilkan pada tiap pemerahan. Karena itu, banyak faktor mempengaruhi komposisi susu. Tetapi, mekanisme yang mempengaruhi komposisi susu terjadi tidak langsung dengan mekanisme langsung terhadap jumlah produksi susu. Sebagai tambahan, perubahan komposisi susu dari pemerahan ke pemerahan berikut tidak dapat diuraikan secara rinci. Sebagai contoh, persentase lemak susu bervariasi sebanyak 30 % dengan penyebab yang tidak diketahui.
Banyak elemen dalam tubuh sapi dan lingkungan luarnya mempengaruhi produksi dan komposisi susu. Seperti yang didiskusikan pada subbab berikut, peternak dapat menghilangkan faktor-faktor ini untuk mencapai produksi susu tinggi dan meningkatkan keuntungan. Adapun faktor yang mempengaruhi adalah:
  1.  Genetik dan Nutrisi
Genetik dan nutrisi sangat mempengaruhi hasil dan komposisi susu.
  1. Tingkat Laktasi dan Persistensi
Sekresi yang dihasilkan ambing saat baru selesai beranak dikenal sebagai kolostrum. Komposisi kolostrum berbeda dari komposisi susu normal. Biasanya diperlukan waktu 3 sampai 5 hari setelah beranak agar komposisi susu menjadi normal. Selama periode ini bahan padat terutama fraksi globulin atau protein meningkat. Secara praktis pedet yang baru lahir tidak memiliki gama globulin. Gama globulin adalah bagian darah yang mengandung antibodi untuk melawan berbagai organisme penyakit. Karena itu, pedet harus tidak mencerna gama globulin dari kolostrum untuk mendapat imunitas pasif melawan penyakit umum pedet. Pemberian kolostrum terutama kritis pada waktu 12 sampai 24 jam pertama hidup pedet. Setelah waktu ini, enzim dalam saluran pencernaan memecah antibodi dan permiabilitas usus menurunkan antibodi. Dengan demikian, antibodi kehilangan keefektivannya sesuai dengan umur setelah lahir. Cekaman panas atau dingin mengurangi transfer imunoglobulin ke serum darah pedet baru lahir. Pedet baru lahir memiliki mekanisme termoregulator rendah sehingga harus mendapat perlindungan dari cuaca ekstrim.
Kandungan laktosa menurun sedangkan persentase kasein dan lemak kolostrum bervariasi. Pakan mengandung laktosa tinggi dapat menyebabkan pedet mencret. Mengurangi kandungan laktosa kolostrum menolong mencegah terjadinya penyakit ini. Kalsium, magnesium, fosfor, dan khlor terdapat banyak dalam kolostrum sedangkan kalium sedikit. Besi terdapat 10 sampai 17 kali lebih banyak dalam kolostrum daripada susu normal. Level tinggi besi ini diperlukan untuk peningkatan dengan cepat hemoglobin sel darah merah pedet baru lahir. Kolostrum mengandung lebih banyak 10 kali vitamin A dan 3 kali vitamin D daripada susu normal. Pedet baru lahir juga secara praktis kekurangan vitamin A. Vitamin A diperlukan untuk melawan berbagai penyakit sehingga pedet harus memperoleh kolostrum.
Saat beranak, produksi susu berada pada tingkat relatif tinggi. Jumlah yang disekresikan terus meningkat selama 3 hingga 6 minggu. Sapi penghasil tinggi biasanya memerlukan waktu lebih lama daripada sapi penghasil rendah untuk mencapai produksi puncak. Setelah puncak dicapai, produksi susu menurun secara beraturan. Tingkat penurunan biasa dianggap sebagai persistensi. Setelah mencapai produksi puncak, sapi tidak bunting menghasilkan susu sebanyak 94 sampai 96 % dari hasil bulan sebelumnya. Banyak sapi tidak bunting melanjutkan menghasilkan susu sampai waktu tidak terbatas tetapi pada tingkat rendah. Menjaga produksi susu puncak tertinggi sebaiknya merupakan tujuan peternak. Keadaan ini tidak akan pernah tercapai. Kenyataannya, ada kecenderungan kuat sapi yang mempunyai produksi awal tinggi kurang mampu mempertahankan persistensi. Selama tingkat awal laktasi, rangsangan untuk menghasilkan susu mengatasi berbagai masalah lingkungan atau manajemen, misalnya prosedur pemerahan buruk atau pemberian pakan jelek. Tetapi, pada laktasi selanjutnya penurunan produksi susu lebih besar daripada laktasi awal.
Persentase lemak susu menurun jelas selama 2 sampai 3 bulan bulan pertama laktasi, kemudian meningkat sejalan dengan penurunan produksi total perkembangan laktasi. Kandungan protein susu secara beraturan meningkat sesuai dengan perkembangan laktasi. Laktosa menurun sedangkan konsentrasi mineral meningkat pada masa ini. Perubahan ini digambarkan pada Gambar 2. Kebanyakan peningkatan komponen SNF susu dihubungkan dengan tingkat kebuntingan yang terjadi daripada tingkat laktasi itu sendiri. Ke arah akhir laktasi komposisi susu cenderung mencapai komposisi darah.

  1.  Tingkat Sekresi Susu
Tingkat sekresi susu berlangsung cepat dan relatif konstan selama 8 hingga 10 jam setelah pemerahan dan rendah sebelum dan selama pemerahan. Susu mengumpul selama selang pemerahan. Tekanan intramamari meningkatkan sekresi susu dan tingkat sekresi susu menurun tiap jam. Umumnya peningkatan tekanan intramamari pada sapi produksi tinggi terlihat lebih kecil daripada sapi produksi rendah untuk menghasilkan jumlah susu yang sama.
Kapasitas ambing menahan dan melepaskan susu sangat berperan terhadap tingkat sekresi susu. Biasanya ambing besar menghasilkan susu banyak daripada ambing kecil. Penelitian pada sapi Jersey menunjukkan bahwa jumlah maksimal laktasi puncak  yang  dapat  disekresikan  atau disimpan pada saat yang sama adalah 54 lb. Keadaan ini dicapai selama hampir 35 jam setelah pemerahan terakhir. Frekuensi pengeluaran susu merangsang meningkatkan sekresi susu dan menurunkan tekanan intramamari.
Telah banyak ditulis bahwa peningkatan tekanan intramamari mengurangi tingkat sekresi susu. Penelitian ini menggunakan akumulasi susu untuk membentuk tekanan intramamari. Karena itu, ada kemungkinan yang timbul bahwa komponen spesifik susu berperan dalam sel ambing untuk menghalangi sekresinya ssendiri, bebas dari tekanan intramamari.
  1. Tindakan Pemerahan
Sapi biasanya diperah dua kali setiap hari. Peningkatan frekuensi pemerahan menjadi tiga kali sehari menaikkan produksi susu sebanyak 10 hingga 25 % dan pemerahan empat kali sehari menambah lagi produksi sebanyak 5 sampai 15 %. Peningkatan produksi susu ini bernilai atau tidak dihubungkan dengan penambahan biaya tenaga kerja, pakan, dan peralatan yang tergantung pada keadaan peternakan tersebut. Kerja bernilai ekonomis bila frekuensi pemerahan lebih dari dua kali sehari terhadap sapi yang diperah pada tempat dengan pelepas cangkir otomatik. Hasil susu menjadi tiga kali lebih besar dibandingkan tingkat awal laktasi. Kebutuhan pakan meningkat sesuai dengan jumlah hasil susu.
Susu yang pertama kali dikeluarkan dari ambing mengandung lemak lebih sedikit (turun 1 sampai 2 %) dibandingkan akhir proses pemerahan (naik 7 hingga 9 %). Alasan untuk pembagian globuli lemak ini belum diketahui. Telah dibuktikan bahwa globuli lemak menggumpal di dalam alveoli. Gumpalan globuli lemak tertahan saat lewat ke arah puting. Bagian cairan lebih mudah melewati gumpalan globuli lemak ke arah dasar ambing dan puting. Karena itu, pemerahan pendahuluan cepat menyebabkan susu dalam saluran besar kelenjar mempunyai lemak lebih sedikit dibandingkan di dalam alveoli.
Sapi yang diperah dua kali sehari dengan selang 10 dan 14 jam menghasilkan susu kira-kira 1 %, lebih sedikit daripada rata-rata sapi yang diperah pada selang 12 dan 12 jam. Sapi penghasil tinggi dapat memperlihatkan halangan lebih besar dalam menghasilkan susu. Sapi penghasil rendah yang diperah pada selang 16 dan 8 jam menghasilkan hanya 1,3 % lebih sedikit susu daripada sapi yang sama diperah dengan selang 12 dan 12 jam. Selang 16 dan 8 jam mengurangi produksi susu sebanyak 4 sampai 7 % pada sapi penghasil tinggi dan dara. Peternak yang memerah 80 hingga 200 sapi tidak berkelompok di ruang perah mungkin memerah individu sapi dengan selang tidak sama setiap hari. Pengelompokan sapi berdasarkan hasil susu atau tingkat fisiologis menyebabkan sapi penghasil tinggi dan dara dapat diperah dengan selang 12 dan 12 jam.
Sapi yang diperah selama 4 menit sepanjang laktasi menghasilkan lebih sedikit susu, terutama pada laktasi awal, daripada sapi yang sama diperah 8 menit. Kelompok 4 menit diperah tidak lengkap sedangkan kelompok 8 menit diperah berlebih. Waktu pemerahan kebanyakan sapi biasanya sedikit di atas 5 menit agar pengeluaran susu maksimal. Penyisaan 4 lb susu dalam ambing setelah pemerahan selama 10 hari berurutan secara permanen mengurangi hasil susu satu masa laktasi. Sapi yang diperah dengan mesin menurut metode setrip secara nyata menghasilkan susu lebih sedikit daripada sapi yang diperah tanpa tanpa metode setrip. Pemerahan mesin metode setrip membutuhkan waktu lebih lama. Karena itu, mesin setrip tidak dianjurkan. Jika dilakukan, pemerahan mesin setrip sebaiknya berlangsung singkat.

  1. Umur dan Ukuran Sapi
Pertambahan hasil susu semakin berkurang hingga kira-kira umur 8 tahun, tergantung pada bangsa, kemudian menurun cepat. Penurunan setelah 8 tahun lebih lambat daripada peningkatan sebelum umur ini. Sapi dewasa menghasilkan susu 25 % lebih banyak daripada sapi dara umur 2 tahun. Peningkatan berat tubuh menaikkan hasil susu sebanyak 5 % sedangkan sisanya yang 20 % karena perkembangan ambing selama kebuntingan.Lemak susu dan SNF masing-masing menurun 0,2 dan 0,4 % antara laktasi pertama dan kelima. Perubahan yang terjadi sedikit. Laktosa menurun sesuai dengan SNF.
Umumnya, sapi besar menghasilkan susu lebih banyak daripada sapi kecil. Walaupun begitu, hasil susu tidak berhubungan langsung dengan berat badan. Hasil susu berkisar sebanyak 0,7 kali dari berat tubuh yang kira-kira mendekati luas permukaan tubuh sapi. Karena itu, sapi yang memiliki tubuh dua kali lebih besar dari sapi lainnya biasanya menghasilkan susu sebanyak 70 % sedangkan sapi kecil mampu memproduksi susu 100 %.
Sapi dengan siste folikel di ovari menghasilkan susu lebih banyak sesuai dengan hari tidak buntingnya dibandingkan sapi kawin normal. Sapi ini menghasilkan jumlah susu yang sama sebelum sistik ovari muncul. Keadaan ini menyimpulkan bahwa sistik ovari meningkatkan produksi susu dan produksi tinggi susu tidak menyebabkan timbulnya sistik ovari. Produksi susu sapi sistik lebih persisten daripada produksi susu sapi kawin normal. Sapi sistik anestrus menghasilkan susu lebih banyak daripada sapi sistik nimpomaniak.
Kebuntingan mengurangi produksi susu laktasi berjalan. Sebagai contoh, sapi yang dikawinkan pada 90 hari setelah beranak menghasilkan susu 750 sampai 800 lb lebih sedikit selama 305 hari daripada sapi yang dikawinkan pada 240 hari setelah beranak. Kebanyakan hasil yang direduksi ini terjadi pada bulan kelima kebuntingan. Pada  bulan kebuntingan kedelapan produksi susu berkurang sebanyak 20 % dibandingkan dengan sapi tidak bunting dan panjang waktu yang sama. Walaupun begitu, selang beranak teratur adalah rangsang utama untuk produksi tinggi susu. Faktor-faktor seperti pakan, tenaga kerja, keuntungan gagal beranak, nilai periode patokan, dan efisiensi reproduktif sebaiknya dievaluasi sebelum keputusan diambil terhadap selang beranak. Hampir pada seluruh keadaan peternakan sebaiknya sapi dikawinkan kembali pada estrus pertama yang terjadi 45 sampai 50 hari setelah beranak.


D.      Strategi Pengurangan Stres Panas
Stres panas harus ditangani dengan serius, agar tidak memberikan pengaruh negatif yang lebih besar. Beberapa strategi yang digunakan untuk mengurangi stres panas dan telah memberikan hasil positif adalah :
Þ    Perbaikan sumber pakan/ransum, dalam hal ini keseimbangan energi, protein, mineral dan vitamin (Ha, 2002 ; Mei and Hwang, 2002 ; Churng, 2002).
Þ    Perbaikan genetik untuk mendapatkan breed yang tahan panas (Kwang, 2002).
Þ    Perbaikan konstruksi kandang, pemberian naungan pohon dan mengkontinyu kan suplai air (Velasco, et al. 2002).
Þ    Penggunaan naungan, penyemprotan air dan penggunaan kipas angin serta kombinasinya (Liang, 2002).

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan


Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahawa :
  1. Sapi perah sangat mudah mengalami stres panas.
  2. Stres panas terjadi apabila temperatur lingkungan berada di atas zona termo netral atau toleransi sapi perah terhadap lingkungan menurun.
  3. Stres panas pada sapi perah dapat menyebabkan perubahan hormonal, penurunan produksi susu dan penurunan komposisi air susu.
  4. Strategi mengurangi stres panas pada sapi perah dapat dilakukan dengan perbaikan mutu gentik, makanan dan manajemen.

B.     Saran

Di Indonesia percobaan mengenai strategi penanganan stres panas belum banyak dilakukan, maka perlu mengujicobakan beberapa strategi untuk mencari strategi yang tepat agar dperoleh komposisi susu yang baik.


DAFTAR PUSTAKA
Anderson R.R., R.J. Collier, A.J. Guidry, C.W Heald, R. Jenness, B.L. Larson and H.A. Tucker, 1985. Lactation. The Iowa University Press, Ames, Iowa.

Chantalakhana, Ch. And P. Skunmun, 2002. Sustainable Smallholder Animal Systems in the Tropics. Kasetsart University Press, Bangkok.

Churng Faung Lee, 2002. Feeding Management and Strategies for Lactating Dairy Cows under Heat Stress.  International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.

Cole, D.J.A. and G.C. Brander, 1986. Bioindustrial Ecosystems. Elsevier, Amsterdam.

Curtis, S.E. 1999. Environmental Management in Animal Agriculture. Agricultural Communications, University of Illinois, Urbana.

Davidson, T., M. McGowan, D. Mayer, B. Young, N. Jonsson, A. Hall, A. Matschoss, P. Goodwin, J. Goughan and M. Lake, 2000. Managing Hot Cows in Australia.The Dairy research and Development Corporation, Queensland. 

Ha Yeon Jeong, 2002. Effect of Feed Resources (Energy, Protein, Minerals, Vitamins) on Reducing Heat Stress for Dairy Cattle in Korea. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.

Kwang Jin Han, 2002. Reducing Heat Stress for Dairy Cattle in Korea. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.

Liang Chou Hsia, 2002. How to Release Heat Stress from Dairy Cattle. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.

Mei Chu Lee and Sen Yuan Hwang, 2002. Effect of Dietary Energy and Protein Balance on the Performance of Dairy Cow in Hot Season. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.





Makalah lingkungan ternak (cekaman panas kegagalan regulasi panas pada susu) Makalah lingkungan ternak (cekaman panas kegagalan regulasi panas pada susu) Reviewed by Faikatushalihat on July 12, 2020 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.