"Iya, sebentar lagi aku pulang" ucapku lewat telepon sambil membuat espresso pesanan pelangganku yang terakhir.
"Apa kau lupa? Saat kau minta agar aku tidak berlaku posesif padamu? Apa kau lupa? Saat kau minta agar aku tidak selalu mengaturmu? Saat kau tidak pernah ada untukku, kau sibuk dan aku tidak boleh sering bertanya kau sedang apa, dimana, bersama siapa, kau bilang aku terlalu kekanak-kanakan. Bukankah kau sendiri yang bilang waktu itu. Apa kau lupa?
"Jawab aku!!!"
Aku diam...
"Pasti banyak teman perempuan yang ikut nongkrong tidak jelas bersamamu di situ" ketusmu.
"Cafenya sebentar lagi kututup. Setelah itu aku akan pulang"
"Jangan mengalihkan pembicaraan, banyak alasan!!!"
"Serius, Sayang!"
"Aku menunggu panggilan teleponmu dari tadi"
"Maaf Sayang. Tapi memang hari ini aku betul-betul sibuk dan tidak sempat mengabarimu"
"Hemmm"
"Sampai rumah, aku telepon lagi yah"
"Tidak perlu, ini sudah jam duabelas malam"
"Sebentar saja"
"Sudahlah, aku bilang tidak usah"
"Yah, marah"
"Kamu sibuk atau pura-pura sibuk, aku tidak peduli. Kamu itu menyebalkan" suaramu mulai terdengar serak.
"Iya, maaf!"
"Bisanya minta maaf terus!" sengatmu.
Minta maaf salah, tidak minta maaf aku tambah salah.
"Espresso Double Shotnya sudah siap belum?" teriak Wawan yang berdiri tak jauh di depanku. Dia adalah salah satu waiter di cafe ini.
Sekarang pandanganku kembali tertuju pada secangkir cairan cokelat kental beraroma itu. Harumnya menyeruak ke dalam hidung siapapun yang menghirupnya.
Malam ini cafe cukup ramai kedatangan pelanggan. Semua orang sibuk termasuk aku. Berjalan kesana kemari menyeduh kopi, kadang mengantar pesanan, kadang juga menyambut kedatangan pelanggan saat bunyi lonceng cafe terdengar.
Menjelang larut malam cafe sudah lumayan sepi. Ini adalah saatnya jam pulang.
"Apa kau masih mau di sini?" terdengar teguran Wawan. Ternyata dia dan teman-teman yang lain sudah siap-siap mau pulang dari cafe tempat kami bekerja.
"Iya tunggu sebentar" sahutku. Lalu menyambar ransel dan ikut keluar dari cafe yang lampunya sudah dimatikan.
Niat hati ingin kembali menelponmu. Tapi ternyata nomermu sudah tidak aktif. Mungkin kamu sudah tidur atau mungkin sedang marah.
***
Semua yang semula rekat perlahan akan mulai berjarak. Saat aku membiarkan jarak itu terjadi hingga akhirnya menciptakan kesepian.
Aku sedang membersihkan meja depan kasir saat Wawan mengambil tempat duduk di sampingku. Melipat kedua tangannya di atas meja dan kepalanya miring menoleh kearahku lalu mengembuskan asap rokok dari mulutnya. Tertawa kecil. Padahal dia tau, aku benci ditertawakan serendah itu.
"Apa kau sedang ada masalah?" seperti biasa dia terlihat sok tahu.
Tapi sialnya kali ini tebakannya benar.
"Persetan!" umpatku dalam hati.
Aku lalu menatap keluar lewat jendela cafe. Di luar hujan begitu deras tumpah ruah. Terlihat beberapa kendaraan berlalu lalang, ada juga pejalan kaki setengah berlari menangkupkan telapak tangan di kepala.
Bodoh. Apa telapak tangan itu bisa menutupi seluruh badan dari siraman hujan? Bukankah itu hal yang sia-sia dilakukan. Karena pada akhirnya tubuh itu akan tetap menggigil kedinginan.
"Sama seperti hubungan kita. Iya kan sayang?"
Apapun yang kulakukan, tetap tidak bisa menghangatkan apa yang sudah terlanjur diam dalam kebekuan.
Kadang aku bertanya, bagaimana bisa hubungan yang semula penuh kehangatan kini seolah terasa hanya sebuah kehampaan?.
"Kenapa sayang, kita kenapa?" tanyaku dalam hati.
"Komunikasi" ucap Wawan seolah mengerti kegundahan hatiku selama ini.
Aku menoleh, kaget.
"Itu memang kunci di setiap hubungan" lagi-lagi Wawan sok tahu.
"Wawan, aku ngobrol dengan dia setiap hari. Setiap ada waktu sela, aku usahakan untuk berkabar dengannya"
Wawan mengisap rokoknya dalam-dalam lalu mengembuskan dengan gaya khas perokok berat.
"Kadang ada pasangan yang tidak mengerti bedanya komunikasi dan omong kosong" dengusnya.
"Hem" lanjutku.
"Sayang sudah makan, sayang sudah mandi, bla bla bla"
Aku tertawa, sialan!
"Apa pernah dia marah karena bilang kangen?"
"Dulu sering" jawabku singkat.
"Apa jawabanmu?"
Aku mengangkat bahu.
"Aku sibuk, aku bilang apa adanya. Ya karena memang kenyataannya aku memang sibuk"
"Begitu sibuk, sampai akhirnya dia berpikir macam-macam."
Aku menghela napas.
"Perempuan memang begitu. Kadang kita bosan dengan pertanyaannya yang sama, raut wajah yang sama, gaya bicara ketus pedas yang sama. Tapi percayalah, itu hanya cara mereka untuk menunjukkan perhatian dan juga cara mereka dalam mencari perhatian."
Aku menatapnya.
"Jangan heran jika perempuanmu terus menganggu hidupmu. Menuntut harus lebih sering berkomunikasi. Justru kau harus heran jika perempuanmu tidak pernah lagi mengajukan pertanyaan."
Seperti ada sesuatu yang dingin meremas hatiku. Setelah mendengar kata-kata Wawan tadi, aku menyadari bahwa rasa dingin diantara kita berdua memang tercipta saat akhir-akhir ini kamu mulai berhenti bertanya.
Berhenti bertanya apakah malam ini aku sedang sibuk, seharian aku sedang bersama siapa, apakah ada perempuan yang sering bersamaku di cafe.
Aku mulai menyadari, kamu berhenti bertanya.
***
Beberapa waktu ini aku seperti mati. Kamu tau? Aku berusaha menyibukkan diri dengan pelajaran di kampus, dengan kesibukan di cafe, tapi tetap saja bayanganmu menggangguku.
Siang, aku harus tersiksa melihatmu di kampus dari kejauhan. Sementara malam hari aku harus tersiksa karena bayanganmu. Kamu ada di meja, kamu ada di kamar mandi, kamu ada di cafe, kamu ada di atas ranjang, kamu ada di mana-mana. Ini membuatku sesak napas.
Karena itu, aku...
"Sayang"
Aku mengirim sebuah pesan.
"Iya" ada emoticon air mata di pesan yang kamu tuliskan.
Apa itu artinya kamu juga merindukanku?
"Aku kangen" ungkapku
Pesanku tidak terbalas, hanya ada tanda dua biru bercentang di sana.
Lalu aku tenggelam dalam isak tangis. Menyesal, menangisi perasaan yang harus tertahan.
Aku kembali meraih ponselku.
"Sayang" panggilku setelah mendengar teleponmu telah tersambung.
"Ya?"
"Sudah makan?"
"Sudah, kamu?"
"Sudah juga"
Hening lagi.
Selang beberapa menit, sambungan telepon telah dimatikan secara sepihak olehmu.
Aku menggigit bibir, mataku tertuju pada cincin yang kupesan minggu lalu namun belum sempat kuberikan padamu.
***
"Bisa kita bicara sebentar saja?" aku bertanya saat kita tak sengaja berpapasan di koridor kampus.
Wajahmu terlihat berbinar, lalu kemudian menunduk.
"Hey, lihat aku" aku menatapmu dalam-dalam. Mencoba meyakinkan bahwa kau pun pasti menginginkan hal yang sama.
Dan aku benar.
Lalu akhirnya kamu mengangguk.
"Terima kasih" aku tersenyum.
Seketika debar di dada terasa mengentak keras. Mungkin kamu pun begitu, terlihat dari senyum manis yang berusaha kamu sembunyikan itu.
Ahhh, manis sekali.
Senyumku kembali menyembul. Membayangkan bagaimana ekspresimu sebentar saat kusematkan cincin berukir nama di sela jarimu.
***
Kita janji bertemu di taman kampus. Terlihat kau disana. Simpel dan cantik. Aku suka.
Aku mengernyit. Kamu ditemani oleh seorang lelaki yang terlihat jauh lebih dewasa dariku.
Siapa?
Pemandangan yang luar biasa di sana.
Beberapa saat aku terdiam. Aku menahan napas, berusaha menerka-nerka siapa laki-laki itu
"Siapa?" tanyaku dengan suara bergetar berusaha menahan hati yang terasa seperti teremas pelan.
Aku menatap wajahmu. Antara bertanya dan memohon, memohon agar laki-laki itu bukan siapa-siapa. Entah lebih kuat ke aura yang mana.
Tidak ada jawaban darimu.
"Siapa!!!" tanpa sadar aku membentakmu. Hal yang samasekali belum pernah kulakukan padamu.
Kamu menarik napas, lalu akhirnya menjawab. Terdengar tegar meski suaramu juga sedikit bergetar.
"Dia yang selalu ada, mendengar semua yang aku rasakan"
Seketika aku terdiam.
Kamu menunduk, menyeka air mata itu dengan ujung jari. Menatap wajahku beberapa detik.
"Kamu terlalu sibuk. Bahkan kamu tidak pernah punya waktu untuk bertanya bagaimana keadaanku, aku sedih, aku ingin cerita, lalu..."
"Lalu dibelakangku kamu ketemu dia???" Bentakku lagi.
Mataku mulai terasa panas.
"Ini bukan rencanaku" balasmu lagi.
"Lalu rencana Tuhan? Apa kau puas?" Suaraku sedikit meninggi.
"Jangan berlaku kasar terhadap perempuan" laki-laki brengsek itu ikut bicara.
Bruakkk
Laki-laki itu terpelanting. Setelah kuhadiahi sebuah tinju di wajahnya.
Kamu memekik kaget.
Dadaku semakin sesak. Melihat bagaimana caramu membantu bajingan itu bangun dari lantai.
"Apa kau lupa? Saat kau minta agar aku tidak berlaku posesif padamu? Apa kau lupa? Saat kau minta agar aku tidak selalu mengaturmu? Saat kau tidak pernah ada untukku, kau sibuk dan aku tidak boleh sering bertanya kau sedang apa, dimana, bersama siapa, kau bilang aku terlalu kekanak-kanakan. Bukankah kau sendiri yang bilang waktu itu. Apa kau lupa?
"Jawab aku!!!"
Aku diam...
Aku kalah...
Aku melangkah pergi bersamaan dengan hati meluruh tak lagi sempurna. Kaca-kaca menutupi cahaya mataku. Lalu butiran bening menitik bersama sedikit isakan hidung
Beberapa puluh meter setelah melangkah pergi, aku menjatuhkan benda bulat berkilau yang sempat kusembunyikan di saku tadi.
Tadinya kupikir setelah ini kita akan kembali seperti dulu. Tapi ternyata aku terlambat.
Menitik lagi air dari sudut mataku.
Benar seperti yang Wawan bilang.
"Aku harus menikmati kecerewetanmu. Karena saat kamu mulai diam, ada satu hal yang bisa dipastikan. Kamu telah membuat jeda"
HARUS ADA JEDA
Reviewed by Faikatushalihat
on
June 20, 2020
Rating:
No comments: